Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ke Gupili Menenangkan Diri

Apa tujuanmu bepergian ke tempat wisata? Untuk menghilangkan penat atau untuk mencari suasana baru? Atau untuk menjawab rasa penasaran karena melihat instastory sahabatmu yang sudah dulu mengunjungi tempat yang kamu inginkan? Apapun tujuanmu, kalau bisa jangan sampai kecewa dan justru tidak mendapatkan sesuatu yang menyenangkan dari tempat yang kamu kunjungi sebagai tempat wisata.

Ada banyak macam alasan kenapa orang-orang mengunjungi suatu tempat untuk tujuan wisata, dan setiap orang menginginkan harapan mereka terhadap suatu tempat, terpenuhi dan tidak mendapatkan kecewa. Maka ada baiknya, jika ingin bepergian, silakan mencari banyak informasi mengenai tempat tersebut, sehingga ketika hendak memutuskan pergi, itu adalah keputusan yang tepat.

Kalau saya, menentukan tempat bepergian selalu mengikuti konteks suasana hati. Semisal jika hati sedang galau dan ingin mencari ketenangan, maka saya lebih suka memilih tempat yang nyaman, damai, alami, sunyi dan tidak terlalu banyak campur tangan manusia.

Jika sedang ingin mencari inspirasi, saya lebih suka bepergian ke tempat yang ramai, penuh aktivitas, banyak suara, banyak warna dan satu lagi, banyak wanitanya ceritanya. Karena kadang, sebuah letupan gagasan itu, bisa saya dapatkan dari sesuatu yang tidak diperhatikan, misalnya, ada seorang lelaki melirik wanita cantik di sebelahnya, padahal di sebelah kanannya, ada istri yang juga sedang melirik lirikan suaminya kepada wanita cantik. Ah rumit sekali.

Jika sudah menentukan tempat yang cocok untuk berwisata, maka pergilah dengan semangat dan suka cita. Kamu boleh kecewa pada suatu tempat, tapi kadang suatu tempat memiliki kejutan menarik bagi pengunjung yang datang. Jika pengunjungnya sadar.

ARSITEKTUR GUPILI

Entah apa yang dipikirkan oleh si pemberi nama Gupili, namun ketika ditanya apa artinya, ia malah menjelaskan sesuatu yang sangat sederhana, "Gubuk Pinggir Kali, Gupili" ah sempak sekali si pemberi nama ini. Saya tertipu dengan keunikan nama dari tempat yang bernama Gupili. Memang secara detail, tempat ini lebih didominasi oleh keberadaan gubuk-gubuk sederhana dan terletak di pinggir kali (sungai). Jadi wajar, sesuai dengan subtansi, nama ini unik dan tidak keminggris.


Gupili adalah nama sebuah tempat yang sangat cocok untuk mengasingkan diri, berada di tengah-tengah pedesaan, dikelilingi oleh barisan buah salak yang kerap mengancam orang-orang yang hendak mendekatinya, salak memiliki duri-duri tajam. Keberadaannya dikitari oleh penduduk kampung yang suka pergi ke sawah, ladang dengan membawa cangkul dan sabit, kadang juga membawa palu tapi bukan palu arit.

Gupili adalah bentuk keunikan, kreativitas, ketidakjelasan konsep, harapan, kenangan dan kemerdekaan para pendirinya. Satu jam pertama saat saya duduk di salahsatu gubuknya, langsung menyimpulkan bahwa, Gupili adalah keinginan yang otentik. Ia tidak dibuat menurut keinginan para pencari keuntungan tempat wisata (sebagaimana umumnya) namun ia dipermak dengan mengikuti alur alam, atau lebih tepat saya sebut dengan "membantu alam yang kesusahan menjalani garis takdirnya, karena gangguan manusia".

Gupili bukan tempat wisata, melainkan tempat untuk menenangkan diri, tempat untuk mengembalikan ingatan tentang kehidupan desa, tempat untuk berteduh dari teriknya kebingaran dunia, yang nampak mulai tertuju pada kehancuran. Kalau Gupili tetap seperti itu maka selamatlah generasi-generasi desa dari kehidupan hedonis lagi kemaruk dengan kefanaan.

Saya mendapat secercah kalimat ini, hasil dari renungan singkat saat di sana, dibantu oleh suara genit para cenggeret yang tidak peduli dengan bisingnya suara mesin motor di kejauhan (karena tidak terdengar), atau suara kebohongan para pejabat publik yang katanya mewakili rakyat namun kerap diabaikan oleh kepentingannya, suara-suara itu seharusnya diabaikan saja biar cepat berlalu, seperti abainya cenggeret pada mereka dan abainya mereka kepada cenggeret. 


Para cenggeret tetap berbunyi berbarengan, atau kadang bersahut-sahutan. Ragam suara dari berbagai jenis mereka (cenggeret), menciptakan melodi alam tiada banding, menghasilkan harmoni suara yang memberikan ketenangan bagi ikan-ikan koi, ikan wader, ikan semprit (cethul), ikan bekos, ikan mas, dan ikan mujair, yang bebas berenang di kali atas bantuan manusia Gupili. Suara-suara alam yang memanjakan pohon mahoni, pohon lasep, pohon kelapa, pohon pisang, dan gerombolan semak-semak lainnya, sehingga mereka tiada jemu menari mengikuti irama dan hembusan angin yang sedari lama berteman dengan mereka. Oh, paduan alam yang sempurna.

Di kotamu yang gersang itu tidak ada lagi kalimat yang bisa diurai semenarik ini, karena kotamu sudah penuh dengan nafsu-nafsu, kalian mengganti hijaunya alam dengan beton-beton keras berwarna kelabu, seakan menyiratkan, nampaknya, engkau manusia, sepertinya takut dengan tanah, dan menutup diri kalian dengan semen. Dan Engkau memang layak takut tanah, karena dari sanalah engkau diciptakan dari menjadi itu pula ketika engkau sudah mati.

GUPILI ADALAK KRITIK

Godek dkk, sepatutnya bangga dengan ilham yang telah mereka terima, sehingga membawa kemerdekaan atas dirinya, dan bersama alam mengikuti alur kehidupan yang seharusnya tetap terjaga. Bukankah seharusnya manusia bersahabat dengan alam? Bukankah seharusnya ikan-ikan air tawar hidup di sungai-sungai dan danau, bukan di akuarium buatan manusia dan meletakkan ikan-ikan sebagai hiasan mereka? Bukankah seharusnya manusia dan alam saling merawat?


Godek dkk adalah pencetus Gupili, mereka tidak semerta-merta mengubah bentuk asli tempat tersebut dengan konsep-konsep ceroboh pembangunan. Kali tetaplah difungsikan sebagai kali, ikan diberi kesempatan menikmati kali. Pohon-pohon dibiarkan tetap berada di tempatnya karena memang mereka punya hak untuk tinggal. Gubuk-gubuk didirikan sebagai naungan manusia supaya tahan dengan kehidupan alam yang memang jauh lebih keras, atau sebagai naungan batu-batu lumpang tua yang dipungut dari pinggir kali di dekatnya.

Konsep yang dihadirkan sebenarnya bukanlah konsep, namun hanya sekedar menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sungai yang perannya sudah diabaikan manusia, difungsikan sebagai tempat sebagaimana mestinya. Ada banyak jenis ikan air tawar yang dilepaskan di kali Gupili, ikan-ikan ini meski sudah mendapatkan tempat yang layak, namun tidak berarti abai kepada manusia. Mereka tetaplah bersahabat, dengan makanan yang telah disiapkan untuk ikan-ikan ini, malah menjadi media interaksi yang romantis, terang saja ketika makanan ini disebar di sungai, ikan-ikan mendatanginya dengan suka cita. Seakan mereka percaya bahwa manusia tidak akan menyakitinya.


Gupili tanpa disadari telah menjadi kritik bagi kebanyakan manusia. Saat manusia-manusia abai terhadap kebersihan dan kesehatan sungai, Gupili malah hadir sebagai antitesis dari kesalahpahaman manusia. Dulunya, sungai ini cemar karena obat-obat kimia yang sengaja dijatuhkannya ke sungai untuk membunuh ikan, namun kini, masyarakat sudah enggan untuk melakukannya, karena sudah ada perhatian khusus pada sungai Gupili. Malah, masyarakat yang dulunya abai, kini menjadi peduli dengan sungai-sungai.

Ini adalah kritik sosial, di saat pemerintah mengeluarkan aturan yang melarang orang-orang membuang sampah dan menyebar obat kimia di sungai, tapi orang-orang Gupili melakukan sebaliknya. Mereka tidak melarang, tapi memberikan edukasi dan solusi. Mungkin saja mereka paham, jika pelanggaran terhadap aturan tidak memberikan efek sakit kepada siapapun (karena aturan tidak punya hati). Tapi membunuh ikan-ikan di sungai Gupili dengan obat (puas), akan memberikan efek sakit kepada siapapun yang menikmati Gupili.

MENENANGKAN DIRI DI GUPILI

Aneh, biasanya saya tidak betah berlama-lama di suatu tempat, meski sebelumnya sangat ingin mendatangi tempat tersebut. Tapi berkunjung ke Gupili adalah pengalaman baru yang asyik, sehingga saya menjadi betah dan tidak terburu-buru untuk pulang.


Orang-orang Gupili sudah menyiapkan tempat untuk santai, ada gubuk yang dibuat di beberapa titik, ada yang di atas sungai dan ada yang di pinggir sungai. Jika kita tidak bisa jauh-jauh dari kopi saat menikmati waktu santai, di sana ada warung sederhana lengkap isinya untuk sekedar memenuhi kebutuhan mulut dan perut.

Tapi ingat, Gupili tidak akan bisa engkau nikmati tanpa melibatkan hati. Jika engkau lebih senang berkunjung ke tempat-tempat yang memanjakan mata, Gupili bukanlah pilihan tepat. Karena engkau hanya akan menyaksikan kekolotan, kesederhanaan dan keluguan alam pedesaan. Lagi ini bukan tempat untuk beramai-ramai apalagi untuk terbahak-bahak menertawakan sesuatu yang tidak lucu. Di Gupili hanya cocok bagi mereka penikmat alam.

Apakah engkau pernah mendengarkan suara cenggeret? Atau masih baru mendengar namanya saja? Di Gupili, cenggeret akan mulai bernyanyi mulai jam 13.00 WIB hingga menjelang petang. Suaranya khas sekali. Oh ya, cenggeret tidak hidup di kota besar, ia hanya hidup di hutan-hutan dan pedesaan yang masih banyak pohon.


Apakah kamu pernah memberi makan ikan-ikan di sungai? Di Gupili kamu bisa memberi makan ikan-ikan yang hidup liar di sungai. Mereka sangat suka dengan manusia, dan tentu saja mereka akan datang jika engkau bisa memanggilnya.

Ke Gupili menenangkan diri, ah, rasanya saya ingin segera kembali ke sana dan menyerap energi alam agar bisa mendapatkan gagasan-gagasan segar, sehingga bisa saya tuliskan kembali. 

Oh ya, Gupili berada di Desa Slawe, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Jika ingin ke sana silakan berkoordinasi dengan komunitas pengelolannya. Kamu bisa menghubungi Nomor ini 085731125763 (Godek). Jika sedang beruntung, kalian akan mendapatkan anggrek langka, namun tergantung suasana hati pemiliknya, kalau saya memang beruntung bisa mendapatkan anggrek tanah secara gratis. Jangan cemburu dengan hoki seseorang, hehe.

Ingat, ini bukan tempat wisata, tapi tempat untuk menenangkan diri. Oke Geng.

Posting Komentar untuk "Ke Gupili Menenangkan Diri"