Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Don’t Send Your Ducks to Eagle School

Berbicara tentang motivasi hidup, sebenarnya itu sama pentingnya dengan membicarakan makanan yang akan kita makan. Itu sangat penting, karena banyak orang-orang, meski dapat menjalani hidupnya seperti halnya kebanyakan orang, namun jarang dari mereka yang benar-benar bisa menemukan jiwa buananya sendiri.

Nah, berikut ini adalah tulisan dari Zaprulkhan, Dosen Pascasarjana STAIN SAS BABEL. Judul asli tulisan ini adalah "JANGAN MOTIVASI SEEKOR BEBEK MENJADI RAJAWALI". Tulisan ini saya dapatkan dari post seorang teman, dan ternyata belum pernah dipublikasikan. Jadi karena ini penting sekali dan saya rasa harus dibaca oleh setiap orang, maka saya beranikan diri untuk mempublikasikan artikel indah ini, melalui blog mastrigus.com.

Selamat membaca...


Jim Rohn, salah seorang maha gurunya pengembangan potensi manusia, berkisah bahwa satu waktu ia memberikan ceramah motivasi tentang kunci-kunci kesuksesan hidup yang amat inspiratif di hadapan ribuan orang. Uniknya, saat itu hanya segelintir peserta yang benar-benar termotivasi untuk mempraktikkan konsep-konsep yang ditawarkannya dan melakukan perubahan berarti dalam hidup mereka. Sebaliknya, sebagian besar peserta cuma merasakan termotivasi saat berada di aula besar ceramah tersebut.

Setelah keluar dari ruangan tersebut, mereka kembali menjalani kehidupan mereka masing-masing seperti sebelumnya. Mayoritas peserta ini tidak tergerak sedikit pun untuk mengamalkan konsep-konsep yang digulirkan oleh Jim Rohn. Sehingga tidak ada perubahan sedikit pun dalam kehidupan mereka antara sebelum dan sesudah mengikuti seminar. Yang cukup mengagetkan, ternyata Jim Rohn sudah mengalami fenomena tersebut ribuan kali. Bahkan sudah tak terhitung banyaknya ia mengalami pengalaman yang sama. Apakah pengalaman ini cuma dialami pakar pengembangan diri sekaliber Jim Rohn seorang saja? Ternyata tidak.

Pakar kepemimpinan terkenal level internasional, John C. Maxwell menyampaikan kisah yang sama. John Maxwell mengakui bahwa ia telah memotivasi orang dari berbagai latar belakang pendidikan, budaya, sosial, agama, negara dan bangsa hampir selama 40 tahun lamanya. Ia tipologi pemimpin yang menaruh penghargaan sangat tinggi kepada setiap orang yang dijumpainya. Dengan tulus, ia amat yakin bahwa setiap orang begitu penting. Selama puluhan tahun itu, ia juga begitu percaya bahwa setiap orang dapat belajar menjadi apa saja asalkan ia mampu memotivasi dan mengarahkan mereka dengan baik.

Dengan perspektif inilah, kurang lebih selama 40 tahun lamanya John Maxwell selalu memberikan seminar-seminar motivasi tentang beragam tema kepemimpinan di berbagai belahan dunia. Dalam setiap seminar yang digelarnya, selalu dihadiri oleh peserta yang berjumlah sangat banyak. Seringkali peserta yang mengikuti seminarnya berjumlah di atas ribuan orang. Dalam setahun, ia bisa memberi seminar di hadapan peserta sedikitnya hingga mencapai 250.000 orang. Meskipun John Maxwell kerapkali mengadakan seminar tentang kepemimpinan dalam berbagai aspeknya, namun tujuan intinya satu yakni agar orang-orang yang menyimak seminarnya akan berubah kehidupannya menjadi lebih baik, lebih sukses, lebih kaya, lebih berarti, dan lebih bahagia.

Tapi sebagaimana Jim Rohn, setelah mengamati dengan seksama pengalamannya selama 40 tahun berbagi inspirasi dengan orang yang sudah tak terhitung banyaknya itu, John Maxwell menemukan hal yang sama: sebagian besar orang-orang yang sudah mengikuti seminar-seminarnya hanya merasakan semangat dan termotivasi sesaat saja sewaktu menyimak materi yang disampaikan oleh John Maxwell. Namun ketika acara seminar tersebut selesai, selesai pula semangat mereka. Ketika acara seminar habis, habis pula motivasi mereka. Mayoritas orang-orang ini kembali ke rumah mereka dan menghabiskan hidup mereka seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah dalam kehidupan mereka. ‘They just enjoy the show but fail to implement the inspirational ideas for their lives’, Mereka hanya menikmati pertunjukannya, tapi gagal menerapkan ide-ide inspiratif dalam kehidupan nyata mereka.

Akan tetapi, fenomena ini bukan hanya dialami Jim Rohn dan John C. Maxwell semata. Hampir sebagian besar pakar kepemimpinan, pengembangan diri dan potensi manusia, maupun motivator kaliber dunia, seperti Napoleon Hill, David J. Schwartz, Tom Peter, Anthony Robbins, Brian Tracy, Zig Ziglar, Stephen Covey, Jack Canfield, Mark Hansen, Harv Eker, dan lainnya mengakui fakta yang sama. Hanya segelintir di antara pendengar mereka yang benar-benar mau menindaklanjuti wejangan-wejangan para pakar tersebut, sehingga merubah kehidupan mereka menjadi berbeda dari sebelumnya.

Yang lebih mengagetkan, secara akumulatif keseluruhan, ternyata tidak lebih dari 5 % orang-orang yang mengikut seminar-seminar yang disampaikan pakar tersebut yang betul-betul melaksanakan metode, strategi, dan konsep kesuksesan hidup secara utuh sehingga menjadikan mereka orang-orang yang sukses pula. Padahal hampir seluruh strategi, metode, konsep, cara, dan langkah-langkah praktis mengenai kesuksesan hidup yang ditawarkan oleh para pakar itu sudah teruji sepanjang waktu. Semua trik-trik tentang kesuksesan dan kebahagiaan yang ditawarkan para guru kehidupan itu sudah terbukti keampuhannya sejak berabad-abad silam hingga hari ini. Sebab yang mereka suarakan adalah prinsip-prinsip universal kehidupan yang tidak akan lapuk dan lekang oleh putaran sang waktu.

Kalau begitu pertanyaan yang menganggu benak kita adalah di mana masalahnya? Dengan kata lain, apa faktor utama yang menyebabkan kebanyakan orang yang mengikuti seminar-seminar para maestro pengembangan potensi manusia hanya termotivasi sesaat tanpa melakukan perubahan berarti dalam kehidupan nyata mereka? Jim Rohn memberi jawaban yang sangat menarik secara analogis-metaforis. Kata Jim Rohn: “Secara analogis, kebanyakan manusia itu memiliki mental bebek bukan burung rajawali. Jangan pernah mengharapkan seekor bebek bisa terbang tinggi seperti rajawali. Karena itu, aturan pertama dalam manajemen kesuksesan adalah ini: “Don’t send your ducks to eagle school”,“Jangan pernah mengirim bebek Anda ke sekolah rajawali”.

Jawaban Jim Rohn ini menyadarkan John Maxwell bahwa ada begitu banyak orang-orang bermental bebek yang tidak mungkin dirubah menjadi rajawali. Dengan pencerahan tersebut, John Maxwell memperkaya jawaban Jim Rohn dengan tiga argumentasi. Mari kita simak argumentasinya.Pertama, If you send ducks to eagle school, you will frustrate the ducks; jika kita mengirim bebek ke sekolah rajawali kita akan membuat frustrasi si bebek. Mari kita hadapi kenyataan ini. Bebek tidak seharunya menjadi rajawali, sebab tidak pula mereka ingin menjadi rajawali. Siapa mereka adalah siapa mereka seharusnya. Bebek memiliki kekuatan sendiri dan harus dihargai untuk itu. Mereka perenang yang hebat. Mereka cakap bekerja bersama dalam peragaan tim yang menakjubkan dan menempuh perjalanan panjang bersama-sama. Mintalah seekor rajawali untuk berenang atau berimigrasi ribuan mil, maka pastilah rajawali itu akan mengalami kesulitan.

Dalam konteks ini, kepemimpinan bukan hanya tentang kemampuan kita dalam memotivasi dan menginspirasi orang lain melakukan hal-hal terbaik, tapi juga menempatkan mereka sesuai dengan kapasitas kemampuan mereka. Kepemimpinan adalah tentang menempatkan orang di tempat yang tepat supaya mereka dapat sukses. Sebagai pemimpin, kita perlu mengetahui dan menghargai orang-orang kita apa adanya dan membiarkan mereka bekerja sesuai kekuatan mereka masing-masing. Tidak ada yang salah dengan bebek. Hanya jangan minta mereka untuk membumbung tinggi atau berburu dari tempat tinggi. Bukan itu yang mereka melakukan.

“Sebagai pemimpin,” tulis John Maxwell, “Anda harus selalu menantang orang Anda untuk keluar dari zona kenyamanan mereka, tetapi jangan pernah memaksa mereka untuk keluar dari zona kekuatan mereka. Jika orang keluar dari zona kekuatan mereka, segera saja mereka tidak akan berada di zona jenis apapun, baik kenyamanan, kekuatan atau keefektifan”.

Kedua, If you send ducks to eagle school, you will frustrate the eagles, jika kita mengirim bebek ke sekolah rajawali, kita akan membuat rajawali frustrasi. Ada sebuah adagium relevan dengan alasan yang kedua ini yang menyatakan: Birds with the sama feathers fly together,“Burung-burung dengan bulu yang sama akan terbang bersama-sama”.

Rajawali tidak akan mau bergaul dengan bebek. Mereka tidak mau tinggal di dalam kandang atau berenang di kolam yang sama. Potensi mereka membuat mereka tidak sabar dengan mereka yang tidak dapat membumbung tinggi. Orang yang biasa bergerak cepat dan terbang tinggi akan dengan mudah dibuat frustrasi oleh orang-orang yang pergerakannya sangat lamban. Kebersamaan dengan orang-orang seperti ini justru akan memperlambat dan menahan mereka menggapai target mereka dengan cepat dan tepat.

Ada sebuah kisah nyata menarik. Satu waktu, Christian Herter mencalonkan diri kembali untuk kedua kalinya sebagai gubernur Massachusetts di Amerika. Suatu hari sesudah kampanye pagi hari yang sangat sibuk dan melewatkan makan siang, ia tiba dalam keadaan sangat kelaparan di acarabarbecue di gereja. Ketika sang gubernur melangkah dalam barisan untuk dilayani, ia menyodorkan piringnya kepada wanita yang membagikan daging ayam goreng. Wanita itu menaruh sepotong ayam di piringnya dan berpaling ke orang berikutnya di dalam barisan.

“Maafkan saya,” Gubernur Herter berkata dengan lembut, “bolehkah saya minya satu potong ayam lagi?”

“Maaf,” jawab si wanita, “saya hanya boleh membagikan satu potong ayam untuk setiap orang”

“Tetapi, saya sangat lapar sekali” sang gubernur berkata.

“Maaf, hanya satu potong ayam untuk setiap orang” kata wanita itu.

Gubernur ini orang yang bersahaja, tetapi ia juga sangat lapar, maka ia memutuskan untuk sedikit menonjolkan diri.

“Bu, Anda tahu siapa saya?” katanya, “Saya gubernur negara bagian ini”

“Anda tahu siapa saya?” wanita itu menjawab, “Saya penanggung jawab atas daging ayam ini. Sekarang geser Tuan!”

Herter jelas merasa seperti seekor rajawali yang terhalangi untuk segera melayang tinggi di angkasa oleh seekor bebek.

Ketiga, If you send ducks to eagle school, you will frustrate yourself, jika kita mengirim bebek ke sekolah rajawali, kita akan membuat diri kita sendiri frustrasi. Pernahkah kita memotivasi, menginspirasi, memimpin, dan membimbing orang-orang yang tidak pernah bangkit dan memenuhi harapan kita? Tidak peduli sudah berapa banyak kita memotivasi mereka, memperlengkapi mereka dengan sumber daya, dan memberi berbagai kesempatan kepada mereka, tapi mereka benar-benar tidak bekerja sesuai harapan kita.

Di sini sebenarnya, persoalannya bukan pada mereka semata, tapi justru terletak pada diri kita sendiri. Seekor kucing akan mengerjakan apa yang kucing kerjakan. Seekor bebek akan mengerjakan apa yang menjadi pekerjaan bebek. Seekor rajawali akan melakukan tugasnya sebagai burung rajawali. Jika kita membawa bebek dan memintanya untuk mengerjakan pekerjaan rajawali, niscaya kita akan kecewa. Saat itu, kita akan mengalami stres.

Sebagai seorang motivator, insipirator, atau pemimpin, tugas kita adalah bagaimana membantu agar bebek menjadi bebek yang lebih baik dan rajawali menjadi burung rajawali yang lebih baik. Kita harus bersikap profesional sekaligus proporsional yakni selalu berupaya menempatkan setiap individu di tempat yang tepat dan membantu mereka mencapai potensi mereka secara maksimal. Sebab kita tidak boleh memaksa seseorang untuk tumbuh berkembang dalam bidang yang bukan bagian dari bakat alami mereka.

Berhubungan dengan kapasitas manusia untuk tumbuh berkembang, John Maxwell menguraikan dua kategori secara garis besar. Kategoripertama adalah kita dapat melakukan pilihan secara bebas dalam suatu bidang. Sehingga kita memiliki potensi pertumbuhan secara maksimal jika kita bersedia mengerjakan syarat-sayaratnya. Untuk membangun sikap yang benar dan baik dalam berinterakasi dengan orang lain adalah suatu pilihan bagi kita. Untuk mengembangkan karakter yang kuat adalah pilihan kita. Untuk menjalani kehidupan kita dengan penuh tanggung jawab adalah juga pilihan bebas bagi kita.

Dalam semua contoh bidang-bidang tersebut pada kategori pertama ini, dengan bantuan seorang pemimpin, mentor, atau coach profresional, sebenarnya setiap orang bisa mengalami pertumbuhan secara maksimal. Meskipun tetap harus diberi catatan: bahwa bagi orang kebanyakan yang bermental bebek, tetap cukup sulit mengembangkan diri mereka secara maksimal. Tatkala kita sebagai pemimpin, mentor, atau coach begitu bersemangatnya membantu mengembangkan sikap, karakter, dan tanggung jawab secara profesional dengan menunjukkan langkah-langkah praktisnya, kadangkala masih banyak di antara mereka yang tidak bersedia mempraktekkanya.

Selanjutnya kategori kedua adalah orang-orang yang memang telah memiliki suatu bakat alami atau potensi unik mereka masing-masing. Dalam kajian psikologi dan kecerdasan emosional, setiap orang sudah memiliki semacam given talent atau intrinsic talent, yaitu bakat yang sudah terberi atau bakat bawaan alami. Meminjam bahasa psikolog positif Martin Seligman dalam karya cemerlangnya Authentic Happiness, disebut dengan your signature strength, yakni talenta unik atau kekuatan khas kita masing-masing. Walaupun ada beberapa orang yang memiliki satu atau dua talenta unik bawaan, tapi mayoritas orang hanya membawa sebuah bakat alami uniknya masing-masing.

Dalam perspektif religius, sebenarnya Tuhan telah mendesain dalam diri setiap hamba-hamba-Nya suatu bakat alami yang unik dan spesifik yang menjadi panggilan hidupnya masing-masing. Panggilan hidup merupakan sesuatu yang sesuai dengan talenta dan misi autentik hidup kita. Sesuatu yang menjadi gairah terbesar dalam hidup kita. Sesuatu yang harus kita tunaikan dalam pentas kehidupan ini. Sebuah kidung sakral yang mesti kita nyanyikan dalam kehidupan pribadi kita masing-masing yang berbeda dengan orang lain.

Nah, tepat pada poin inilah, ketika seorang pemimpin, mentor, atau coach hendak memotivasi dan menginspirasi seseorang yang berada di luar bakat alami unik mereka, maka mereka tentu akan frustrasi. Ketika seorang pemimpin ingin mengembangkan seseorang untuk melakukan sesuatu secara maksimal dalam suatu aspek kehidupan yang bukan menjadi panggilan autentik hidupnya, maka ia harus menerima konsekuensinya dengan sebuah kekecewaan. Mengapa demikian? “You can’t get in what God put outside”,“Anda tidak dapat memasukkan sesuatu yang telah Tuhan tinggalkan di luar” ujar John Maxwell.

Karena itulah, sebagai seorang pemimpin, mentor, atau coachmisalnya, jika kita memerlukan rajawali-rajawali yang hebat, kita harus mencari rajawali-rajawali yang potensial. Setelah mendapatkan bibit-bibit rajawali yang potensial, baru kita memiliki kemungkinan untuk mengembangkan mereka menjadi para rajawali yang hebat. Jangan pernah sekali-kali ingin mengembangkan rajawali-rajawali yang hebat, tapi yang kita persiapkan malah benih-benih bebek yang potensial. Sebab, tidak menjadi soal seberapa hebat dan ahlinya kita melatih dan mengembangkan orang-orang seperti itu, maka yang akan kita terima hanyalah kicauan: “kwek-kwek-kwek”. So don’t send your ducks to eagle school!

Posting Komentar untuk "Don’t Send Your Ducks to Eagle School"