Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ramainya Malam di Alun-Alun Kota Bandung

Sejak kecil saya sudah sering mendengar nama Bandung lo Geis, meski dalam benak saya waktu itu (masih sekolah dasar) Kota Bandung adalah kota seram dan penuh lautan api. Karena semenjak masih di bangku taman kanak-kanak, bu guru keseringan mengajak saya bernyanyi lagu Halo-Halo Bandung. Kalian masih ingat kan dengan lagu itu? kalau belum yuk mari kita bernyanyi lagi:

Halo-halo Bandung
Ibukota periangan
Halo-halo Bandung
Kota kenang-kenangan
Sudah lama beta
Tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi lautan api
Mari bung rebut kembali (Ulangi sampai bibirmu pegal)

Selama hidup ini, saya baru dua kali bisa menghirup udara segar kota Periangan. Pertama saat transit pesawat dari Surabaya ke Batam yang harus ngetap oli di bandara bandung, dan kedua saat ada tugas menemani beberapa Kepala Desa dan BPD dari Trenggalek (kota kesayangan yang lagi di PHP-in sama bupatinya) yang saat itu ada pertemuan kepala desa dan BPD 4 Provinsi. Dan tentu kunjungan ke-dualah yang paling banyak memberikan waktu kepada saya untuk setidaknya melirik para gadis-gadis ayu di sana.

Kunjungan ke-dua tersebut, saya dkk bertugas selama 4 hari, 3 hari full di hotel dan mendengarkan cerita sepak terjang Kepala Desa dan BPD dalam menjalankan misi kenegaraannya, dan 1 hari digunakan untuk jalan-jalan manja menyusuri trotoar di sela-sela gedung pencakar langit. Dan karena cuma 1 hari saja, maka saya hanya akan menceritakan pengalaman sekedarnya saja Geis.

Saya adalah orang udik, lahir dari pelosok desa dan besar di desa pula. Baru saat sudah sedikit mengerti bahwa "wanita itu cantik dan penuh daya tarik" saya banyak melancong demi untuk membuktikan bahwa dunia itu tak selebar daun kelor. Jadi ketika saya menyambangi Kota Bandung, yang ada hanya perasaan heran disepanjang jalan. Gimana tidak, lawong gedung-gedungnya tinggi sekali jika dibandingkan dengan gedung-gedung yang ada di Trenggalek. Di sini, yang paling tinggi hanyalah tower sinyal provider saja, Geis.

Bandung memang tak seperti bayangan saya saat masih SD, jika dulu yang ada di benak adalah kota yang porak-poranda karena perang, namun saat saya menginjakkan kaki di sana, Bandung tampak seperti halnya kota besar. Kamu tahukan, Geis, kota besar itu identik dengan apa? Yang pasti ada macet, ada hiruk pikuk kendaraan, ada gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dan pastinya banyak manusia-manusia sibuk. bandung punya itu semua.

Saya mendapatkan kesempatan untuk jalan-jalan di malam hari, berhubung acaranya sudah kelar sejak sore jadi peserta dibebaskan berkeliaran, eh. Saya menghubungi teman yang sudah sejak dari lahir bersemayam di Kota Bandung. Saya sampaikan kepadanya bahwa saya dan teman-teman butuh ditemani jalan-jalan.

Nah, setelah bertemu dengan teman tadi, kami jalan-jalan diseputaran alun-alun Kota Bandung. Di sana, ada banyak hal yang bisa saya saksikan, bagaimana kota besar berproses memantaskan diri bersama penghuninya, selain tempat tersebut ramai dikunjungi orang, ternyata aneka macam kreavitas yang di usung oleh muda-mudi di sana sangat bagus, semisal pakaian custom bertemakan hantu atau robot.

Pakaian custom tersebut bukan hanya untuk menunjukkan eksistensi diri semata, melainkan juga sebagai upaya untuk mendapatkan uang. Dari orang-orang yang meminta foto dengannya, mereka mendapatkan uang seikhlasnya, jadi tidak ada patokan harga untuk berfoto ria dengan hantu jadi-jadian. Saya pun langsung menjajalnya, maklum lah, orang udik selalu nggumun dengan hal beginian.

Puas dengan foto, kami melanjutkan perjalanan lagi, tapi belum sepenuhnya move on dari keinginan berfoto ria, kami menyambangi jembatan fenomenal yang ada tulisannya begini "Tanah Pasudan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum" M.A.W Brouwer. Di sanalah kami mengambil berfoto untuk mengambil momen di antara kerumunan lalu lalang manusia dan seliweran mobil. Setidaknya kalimat ini masih membekas di relung jiwaku, Geis. Secara makna, ini sangat dalam dan tulus.

Tepat di belakang saya berdiri ketika menghadap kalimat tersebut, juga terdapat kalimat bagus, Geis. Kalimat ini juga merupakan bentuk ungkapan sarat makna yang bagi siapapun yang membacanya bakal mengetahui Bandung secara singkat. Begini tulisannya:

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi" Jreng, menyentuh kalbu kan, Geis? Halah gitu saja baper, lebai banget jadi orang.

Sekarang menuju ke lapangan alun-alun ya Geis, ternyata Pemkot Bandung membuat aturan yang cukup keren ketika kita memasuki area alun-alun. Bahwa siapapun tidak boleh menyalakan rokok ketika memasuki area lapangan. Saya tidak tahu alasannya tapi jika melihat pengguna alun-alun tersebut banyak anak-anak di bawah umur, saya mengira kalau ini merupakan area yang ramah bagi siapa saja. Pas itu saya tidak tahu, nah ketika masuk sambil enak-enak merokok, langsung deh di deketin sama pak Satpol PP, dengan baik-baik ia menyampaikan perihal aturan tidak boleh merokok tersebut.

Setelah lelah jalan-jalan kami akhirnya mencari tempat ngopi yang enak, salah satu teman mengajak di warung kopi langganan. Sampai malam telah larut, kami membicarakan perihal kondisi Bandung pada umumnya. Dan yang paling berkesan dari sana adalah, orang Bandung itu ramah-ramah dan kalem. Mengesankan.

Posting Komentar untuk "Ramainya Malam di Alun-Alun Kota Bandung"